Laporan Pandangan Mata Kegiatan Temu Virtual 7 Komda Jabar: Kode Etik Profesi Penerjemah

Topik yang diambil pada Temu Virtual ke-7 HPI Komisi Daerah Jabar kali ini terbilang lebih “berat” dan serius dibanding acara-acara temu virtual sebelumnya, yaitu kode etik profesi penerjemah dan juru bahasa. Untuk mengimbangi keseriusan topik ini, panitia acara memilih dua orang narasumber yang memang telah lama akrab dengan perkembangan kode etik HPI seiring zaman, yaitu Bapak Hendarto Setiadi (Ketua Dewan Penasihat dan Kepatuhan HPI serta mantan Ketua Umum HPI periode 2007-2010) dan Bapak Indra Listyo (Ketua Umum HPI periode 2019-2024) dengan harapan agar kedua narasumber ini bisa menyajikan topik tersebut secara cair dan tidak membosankan.

Acara ini dibuka pukul 10.00 pagi pada hari Sabtu. 26 Maret 2022. Seperti biasanya, acara dimulai dengan sambutan dari Bapak Eki Qushay Akhwan (Ketua Komda Jabar 2019-2022) tentang latar belakang pemilihan topik Temu Virtual Ini, dilanjutkan dengan pembacaan tata tertib acara dan perkenalan narasumber oleh moderator Irfan Ferlanda (anggota staf Divisi Informasi dan Teknologi Komda Jabar).

Pak Hendarto membuka pemaparan materi utama dengan penjelasan singkat tentang asal-muasal kode etik HPI dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Walaupun HPI didirikan pada tahun 1974, ternyata kode etik baru benar-benar ditetapkan pada tahun 2000 sebagai bagian dari upaya Bapak Benny Hoed (ketua umum HPI saat itu) membangunkan kembali organisasi dari keadaan mati suri. Keberadaan kode etik dipandang penting untuk mewujudkan salah satu tujuan baru HPI saat itu, yaitu mengangkat citra organisasi HPI pada khususnya dan profesi penerjemahan/penjurubahasaan pada umumnya. Kode etik HPI pada awalnya sangat pendek (hanya 1 lembar) dan mengacu pada kode etik American Translators Association. Seiring perjalanan waktu, kode etik ini mengalami revisi dan pengembangan lebih lanjut pada setiap Kongres HPI, termasuk pada Kongres terbaru tahun 2019 yang menambahkan kode perilaku penerjemah ke dokumen kode etik HPI saat ini.

Pak Indra Listyo melanjutkan pembahasan dengan ulasan tentang hubungan kode etik dengan visi/misi dan AD/ART HPI. Masalah ini tidak dibahas panjang-lebar karena sebagian besar paparan yang diberikan Pak Indra justru mengulas sejumlah contoh kasus pelanggaran kode etik secara lebih spesifik. Sesuai perkiraan, contoh-contoh kasus ini berhasil mengundang diskusi yang cukup hangat, terutama tentang kasus-kasus pelanggaran kode etik yang menyebabkan konflik klien-penerjemah ataupun antarpenerjemah. Bahasan yang muncul dalam diskusi tak ayal turut melebar ke beberapa isu terkait, misalnya kemungkinan perubahan isi dan penegakan kode etik jika HPI bermaksud memperluas keanggotaan (yang selama ini hanya terbuka bagi penerjemah dan juru bahasa individu) dengan menerima anggota yang berupa lembaga atau badan hukum. Satu lagi isu yang cukup mengundang perhatian adalah risiko moral yang muncul dari peraturan usangan tentang status penerjemah tersumpah (misalnya penggunaan cap/stempel oleh pihak yang tidak berhak akibat tiadanya mekanisme untuk mengakhiri berlakunya status penerjemah tersumpah yang telah meninggal dunia atau pensiun secara permanen) beserta potensi peran HPI dalam memberi masukan supaya peraturan baru yang sedang dikembangkan dapat mencegah masalah-masalah semacam itu.

Diskusi dalam Temu Virtual kali ini bisa dibilang sangat berhasil menarik perhatian peserta kepada berbagai isu yang terkait dengan kode etik organisasi HPI. Dengan banyaknya anggota yang tersadarkan bahwa masalah kode etik bukanlah topik yang membosankan, muncul pula wacana supaya pembahasan tentang kode etik HPI tidak hanya terbatas pada rapat singkat (hanya beberapa jam) pada acara Kongres yang hanya diadakan beberapa tahun sekali. Salah satu usulan yang mendapat cukup banyak dukungan adalah pembentukan tim kecil atau komisi jangka panjang untuk membahas berbagai pertanyaan dan usulan perubahan kode etik yang diajukan oleh para anggota HPI.

Pembicaraan pun tak lantas berhenti setelah materi selesai disajikan. Setelah acara ditutup secara resmi sesuai jadwal pada pukul 12.00, kedua narasumber dan sejumlah peserta tidak langsung meninggalkan acara; sebaliknya, obrolan dilanjutkan dalam bentuk silaturahmi dan diskusi bebas. Satu dari sekian banyak hal yang dibicarakan pada segmen ini adalah wacana pendirian Komda di beberapa daerah yang belum memiliki Komda sendiri. Menariknya, topik ini justru kembali membawa diskusi ke arah yang berhubungan dengan kode etik, terutama sikap sebagian kalangan penerjemah yang nampaknya keberatan dengan upaya HPI (bersama dengan beberapa mitra lembaga dan organisasi lainnya) untuk menegakkan standar profesionalitas yang lebih tinggi bagi profesi penerjemah dan juru bahasa.

Laporan Kegiatan “Webinar 6 Komda Jabar: Penerjemahan Dokumen Kenotariatan Bagian II”

Pada perempat pertama tahun 2020, tak lama sebelum masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dimulai, HPI Komda Jabar mengadakan acara tatap muka berupa pelatihan penerjemahan dokumen kenotariatan. Animo peserta pada acara ini sangat tinggi, sampai ada sejumlah peserta yang datang dari luar daerah (misalnya Solo dan Gorontalo) untuk mengambil manfaat dari pelatihan tersebut. Oleh karena itu, pengurus Komda Jabar sudah lama mewacanakan lanjutan dari pelatihan ini, tetapi rencana ini berkali-kali terhalang oleh pandemi yang tak kunjung usai. Di sisi lain, Komda Jabar juga sudah berhasil mengadakan sejumlah acara daring sepanjang tahun 2020 dan awal tahun 2021, baik yang berupa webinar formal maupun Temu Virtual yang agak lebih santai. Akhirnya pengurus Komda Jabarpun mulai terpikir untuk mengadakan pelatihan lanjutan yang telah lama diwacanakan tersebut secara daring pula.

Untungnya, para narasumber pelatihan pertama setuju dengan gagasan tersebut. Topik pelatihan dokumen kenotariatan bagian II lantas ditetapkan sebagai tajuk resmi webinar ke-6 HPI Komda Jabar pada rangkaian acara daring 2020-2021.

Dengan pengalaman menyelenggarakan lima webinar sebelumnya, persiapan dan pelaksanaan acara ini tidak menimbulkan kesulitan berarti bagi panitia acara. Kali ini kami meminta bantuan Kang Joe untuk menjadi moderator dengan pertimbangan kemampuan beliau untuk mencairkan suasana dalam pertemuan daring.

Setelah perkenalan dan sambutan-sambutan di awal, acara berlanjut dengan penjelasan dari Ibu Ira Sawitri yang kental dengan pengalaman beliau sebagai praktisi. Di sinilah kekuatan HPI sebagai organisasi profesi sungguh nampak karena pemahaman yang dibawakan para anggota senior tidak hanya berdasar pada teori kebahasaan atau penerjemahan dari ruang kuliah tetapi juga dilengkapi dengan asam-garam pengalaman bekerja di lapangan.

Cukup banyak hal yang dijelaskan Ibu Ira, mulai dari peran penerjemah dalam mendampingi klien dan notaris, kewajiban penerjemah untuk tidak memihak, berbagai rincian tentang cara “menerjemahkan” pengertian antara dua atau lebih sistem kenotariatan yang berbeda, hingga peluang bisnis bagi penerjemah yang muncul dari interaksi sistem kenotariatan di dalam dan di luar negeri. Seperti biasa, penjelasan ini dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab.

Pemateri berikutnya, yaitu Bapak Samuel Siahaan, memberikan penjelasan yang bersifat lebih umum tentang hal-hal yang perlu diperhatikan penerjemah di bidang hukum, tidak hanya pada segi perbedaan hukum tetapi juga perbedaan budaya, sistem pemerintahan, dan sistem peradilan/penegakan hukum di negara-negara terkait.

Pak Samuel membumbui paparan beliau dengan sejumlah anekdot yang menyegarkan tetapi juga sangat berguna. Pada umumnya, pesan yang disampaikan Pak Samuel adalah penerjemah hukum perlu menyelesaikan cukup banyak pekerjaan persiapan di awal untuk mempelajari berbagai perbedaan budaya dan hukum supaya dapat memberi klien pemahaman tentang dampak perbedaan-perbedaan ini terhadap produk hukum yang akan diterjemahkan. Misalnya, klien dari negara-negara dengan sistem hukum Anglo-Sakson alias common law terbiasa berasumsi bahwa perjanjian antara dua pihak dapat menafikan aturan pemerintah pada bidang-bidang tertentu, jadi penerjemah perlu menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia mengacu dengan lebih ketat kepada hukum tertulis dan isi perjanjian tersebut bisa jadi batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Tetapi sebaliknya juga, penerjemah di bidang hukum (termasuk kenotariatan) wajib mempertimbangkan segala daya dan upaya yang telah dicurahkan dalam kerja persiapan ini sewaktu memperhitungkan tarif yang akan ditagihkan kepada pelanggan.

Secara umum, seminar daring ini dapat dikatakan telah mengulang kesuksesan seminar tatap muka pada tahun 2020 yang lalu. Tetapi ini bukan berarti jajaran pengurus HPI Komda Jabar dapat berpuas diri, dan tak perlu diragukan lagi bahwa kami sudah mulai bergerak merencanakan acara-acara berikutnya.

Penulis: Pradana P.M. (staf Infotek Komda Jabar)

Laporan Kegiatan HPI Komda Jabar akhir 2020 – awal 2021: Temu Virtual 3 & 4 serta Webinar Penerjemahan Manual Alat Medis

Sembari menunggu bergulirnya program vaksinasi yang diharap akan mengakhiri pandemi COVID-19 belakangan ini, pengurus HPI Komda Jabar tentu saja tak hanya diam berpangku tangan. Sebaliknya, kami terus bergerak meneruskan kesuksesan rangkaian acara daring sepanjang tahun 2020 sebagai wahana silaturahmi maupun pengembangan profesi.

Temu Virtual 3: Serba-Serbi Pemasaran Jasa Penerjemahan Kepada Agensi dan Klien

Walaupun Temu Virtual 2 sebelumnya telah membahas topik pemasaran jasa penerjemahan dan penjurubahasaan pula, topik ini begitu besar hingga tak akan habis dibahas dalam satu pertemuan saja, dan tentunya masih banyak narasumber yang masih dapat membawakan perspektif unik yang menghibur sekaligus bermanfaat. Oleh karena itu Temu Virtual ke-3 Komda Jabar ini kembali mengangkat topik pemasaran dari sudut pandang Dewantoro Ratri, seorang penerjemah dan juru bahasa kawakan dari Sidoarjo yang juga berpengalaman mengelola agensi penerjemahan. Mas Dewa menceritakan pengalamannya tersebut dengan gaya yang kocak dan memicu diskusi yang cukup ramai di antara para peserta.

Webinar 5 : Penerjemahan Manual Alat Medis

Alat-alat medis di Indonesia masih didominasi barang impor dari luar negeri. Tentu saja buku/selebaran panduan penggunaan alat-alat medis tersebut ditulis dalam bahasa asing pula, sehingga penerjemahan materi panduan ini memegang peranan penting dalam transfer ilmu dan teknologi kesehatan ke dalam negeri — terlebih lagi dengan munculnya pandemi COVID-19 yang semakin meningkatkan kebutuhan akan berbagai alat medis beserta bahan panduan terkait. Oleh karena itu, penerjemahan manual alat medis menjadi topik yang tepat untuk diangkat dalam webinar ke-5 Komda Jabar, terutama bagi para penerjemah yang ingin mampu memanfaatkan peluang di bidang ini sebagai ganti menurunnya permintaan jasa penerjemahan di sejumlah bidang lainnya pada masa pandemi.

Sebenarnya webinar ini terbagi menjadi dua sesi, dengan sesi pertama yang membahas masalah kesehatan dan kebugaran bagi kalangan penerjemah yang cenderung menghabiskan sebagian besar waktu di dalam ruangan, apalagi di tengah keadaan yang membatasi berbagai kegiatan olahraga di luar ruangan. Topik ini sudah sempat dibahas pada acara Temu Virtual 1 tahun lalu tetapi kali ini panitia mengambil kesempatan untuk mengangkatnya kembali secara lebih rapi dan sistematis. Mulai dari pola makan, berbagai bentuk olahraga atau latihan kebugaran yang dapat dilakukan tanpa keluar rumah, hingga kebiasaan kerja yang lebih sadar kesehatan (misalnya mengistirahatkan mata, menggunakan meja kerja pada posisi berdiri, atau sesekali meninggalkan kursi/tempat duduk untuk bergerak dan melemaskan tungkai), semuanya dibahas oleh kedua narasumber dengan singkat tetapi jelas. Tetapi ada sejumlah peserta yang nampaknya heran atau kaget dengan materi sesi pertama ini, mungkin karena panitia kurang jelas menjabarkan jadwal dan struktur acara pada materi promosi webinar. Pengalaman ini menjadi masukan yang berharga bagi pengurus Komda sebagai bahan pertimbangan untuk penyusunan materi promosi acara-acara berikutnya.

Kemudian sesi kedua mengulas materi utama webinar ini, yaitu seluk-beluk penerjemahan naskah panduan penggunaan alat-alat medis. Seperti biasa, penjelasan di sini menggarisbawahi kenyataan bahwa penerjemah yang hendak memasuki bidang ini tidak hanya memerlukan pemahaman tentang istilah-istilah di bidang kesehatan, kedokteran, dan sedikit-banyak teknik serta elektronika, tetapi juga harus siap menyesuaikan produk terjemahan dengan spesifikasi dan kebutuhan pihak klien, terutama jika pengguna akhir mungkin akan merasa tidak nyaman atau dibingungkan dengan pemilihan padanan istilah yang terlalu baku dan kaku.

Temu Virtual 4: Di Balik Layar — Liku-Liku Perjuangan Membangun Karier Penerjemah dan Juru Bahasa

Sesuai dengan sifat acara Temu Virtual yang lebih “longgar” dan tidak formal dibandingkan dengan webinar, topik TV 4 ini lebih cenderung diarahkan untuk memicu diskusi daripada mengajarkan/menyajikan materi satu arah. Panitiapun sengaja memilih dua orang narasumber dengan latar belakang dan pengalaman yang berbeda jauh sepanjang jalan meniti karier masing-masing. Hasilnya ternyata sesuai harapan, karena bahasan yang muncul pada acara temu virtual ini cukup berhasil menyajikan luasnya ragam pengalaman para tenaga profesional di bidang penerjemahan dan penjurubahasaan. Sebagai contoh, salah satu narasumber menjelaskan bahwa profesi penerjemah dan juru bahasa tidak hanya dapat ditekuni oleh orang-orang yang memandang penerjemahan atau penjurubahasaan sebagai panggilan hidup; tidak ada salahnya menggunakan profesi ini untuk mengepulkan asap dapur sembari menekuni kegiatan atau pekerjaan lain yang lebih menarik/menyenangkan tetapi tidak cocok untuk dijadikan sumber pendapatan utama.